KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya kepada kami sehingga saya
dapat menyelesaikan Makalah Perilaku Organisasi ini walaupun masih jauh dari
sempurna. Manusia adalah pendukung utama
setiap organisasi apa pun bentuknya. Perilaku manusia yang berada dalam suatu
kelompok atau organisasi adalah awal dari perilaku organisasi itu.
Oleh karena itu, persoalan-persoalan manusia
senantiasa berkembang dan ruwet, maka persoalan-persoalan organisasi dan
khususnya persoalan perilaku organisasi semakin hari semakin berkembang pula.
Penulis menyadari bahwa makalah ini adalah pekerjaan yang belum selesai, maka
dari itu penulis meminta kritik dan saran untuk perbaikan di masa yang akan
mendatang.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Wassalamualaikum wr. wb
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pemimpin
merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu organisasi dan usaha.
Baik di dunia business maupun di dunia pendidikan, kesehatan, perusahaan,
religi, sosial, politik, pemerintahan negara, dan lain-lain, kualitas Pemimpin
menentukan keberhasilan lembaga atau organisasinya. Sebab pemimpin yang sukses
itu mampu mengelola organisasi, bisa mempengaruhi secara konstruktif orang
lain, dan menunjukan jalan serta perilaku benar yang harus dikerjakan bersama-sama
(melakukan kerja sama).
Perspektif
baru di dunia modern dan kehidupan demokrastis di negara-negara demokrasi
menstimulir setiap individu yang berpartisipasi
aktif dalam semua kegiatan berorganisasi dan aktivitas hidup, dan ikut
memikul tanggung jawab sosial yang ebih besar. Setiap orang diharapkan bisa
memikirkan, menerapkan dan menilai kembali kontribusi sosial masing-masing
dalam kehidupan bersama. Dengan begitu terdapat proses evaluasi-diri selaku
warga negara, yang didukung oleh kesadaran yang dalam. Juga diharapkan adanya
pengembangan kreaivitas dan inventivitas dalam kehidupan bersama untuk mencipta
budaya dan benda-benda budaya.
Dalam
setiap karya bersama atau kerja kolektif itulah dibutuhkan kepemimpinan dan
pemimpin untuk mengefesienkan setiap langkah dan kegiatan. Dan hanya
pemimpin-pemimpin yang bersedia mengakui bakat-bakat, kapasitas, inisiatif,
partisipasi, dan kemauan baik dari para pengikutnya untuk berinisiatif dan
bekerjasama secara kooperatif, hanya pemimpin sedemikian inilah yang mampu
menjamin kesejahteraan lahir-batin masyarakat luas. Sekaligus pemimpin tersebut
sanggup mempertinggi produktivitas dan efektivitas usaha bersama. Oleh karena
itu pemimpin merupakan faktor kritis yang dapat menentukan maju-mundurnya atau
hidup matinya suatu usaha dan kegiatan bersama, baik yang berbentuk organisasi
sosial, lembaga pemerintah, maupun badan korporasi dan usaha dagang.
1.2
Rumusan
Masalah
1) Bagaimana
Teori dan konsep mengenai pemimpin dan Kepemimpinan?
2) Bagaimana konflik bisa terjadi?
3) Bagaimana
peran kepemimpinan dalam pengendalian konflik?
1.3
Tujuan
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Memenuhi
tugas mata kuliah Perilaku Organisasi
2) Sebagai
salah satu syarat mengikuti ujian tengah semester (UTS)
3) Menambah
wawasan penulis terhadap maslah yang ditulis sebagai salah satu pemikiran dan
penggambaran aplikasi kepemimpinan dalam pengendalian konflik
1.4
Metode
Penulisan
Penulisan
makalah ini menggunakan study literature atau kepustakaan dari berbagai sumber,
baik dari sumber buku sampai sumber internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka
A. Definisi Kepemimpin
Definisi
kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan
organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi
interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian
dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai
sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan
dan kerja sama dari orang-orang diluar kelompok atau organisasi. Kepemimpinan
terkadang dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakan dan mempengaruhi orang.
Kepemimpinan sebagai sebuah alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia melakukan sesuatu secara
sukarela/sukacita. Ada beberapa faktor yang dapat menggerakan orang yaitu
karena ancaman, penghargaan, otoritas, dan bujukan.
Oleh
karena itu kepemimpinan itu hakikatnya adalah :
a) Proses
mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan
organisasi.
b) Seni
mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan,
kehormatan, dan kerja sama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama.
c) Kemampuan
untuk mempengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan tindakan seseorang atau
kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
d) Melibatkan
tiga hal yaitu pemimpin, pengikut dan situasi tertentu
e) Kemampuan
untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Sumber pengaruh dapat
secara formal atau tidak formal. Pengaruh formal ada jika seorang pemimpin
memiliki posisi manajerial di dalam sebuah organisasi. Sedangkan sumber
pengaruh tidak formal muncul di luar struktur organisasi formal. Dengan
demikian seorang pemimpin dapat muncul dari dalam organisasi atau karena
ditunjuk secara formal. Dengan semikian pengaruh pemimpin sangat ditentukan
oleh statusnya, yaitu sebagai pemimpin
formal atau pemimpin informal yang masing-masing dapat dibedakan dalam hal :
-
Pimpinan formal (lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif), artinya seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin, atau
dasar keputusan dan pengangkatan resmi
untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan
kewajiban yang melekat berkaitan dengan posisinya.
-
Pimpina informal (Tokoh masyarakat,
pemuka agama, adat, LSM, Guru, Bisnis, dan lain-lain), artinya seseorang yang
ditunjuk memimpin secara tidak formal, karena memiliki kualitas unggul, dia
mencapai kedudukan sebagai seorang yang
mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok/komunitas
tertentu.
B. Teori dan Model Kepemimpinan
G.R
Terry mengemukakan sejumlah teori kpemimpinan, yaitu teori-teori sendiri
ditambah dengan teori-teori penulis lain, sebagai berikut :
1. Teori
otokratis
Kepemimpinan
menurut teori ini di dasarkan atas perintah-perintah, paksaan dan
tindakan-tindakan yang arbiter (sebagai wasit). Ia melakukan pengawasan yang
ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya
berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas.
Pimpinan
tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai pemain orkes tunggal yang
berambisi untuk merajai situasi, karena itu disebut otokrat keras atau penguasa
absolut. Sikapnya selalu menjauhi kelompoknya sebab dia menganggap diri sendiri
sangat istimewa atau ekslusif.
Pada
intinya otokrat keras itu memiliki sifat-sifat : tepat, seksama, sesuai dengan
prinsip, namun keras dan kaku. Dia tidak pernah mau mendelegasikan otoritas.
Lembaga atau organisasinya yang dipimpinnya merupakan a one-man show.
Otokrat
lembut/baik banyak memiliki kesamaan otokrat keras, namun dia selalu didera
oleh perasaan-perasaan non-konformistis. Dia hanya mentolelir kepatuhan yang
sesuai dengan perintah dan prinsip-prinsip yang diciptakan sendiri. Dia mau
bersikap loyal terhadap anggota-anggotanya, dan tidak sayang mengeluarkan
banyak uang serta biaya, asal saja bawahan bersedia patuh, tidak boleh
meminta/menuuntut, tidak boleh memilih, harus menyukai semua pemberian dan
ketentuannya. Semua pihak dipaksa untuk tanpa reserve menerima dan menyukai
pendirian, kemauan dan kebijaksanaannya.
Otokrat
inkompeten banyak miripnya dengan si “bayi”. Bayi itu memiliki banyak energi,
akan tetapi dia ingin mendominir orang lain, selalu mau berkuasa mutlak, sering
bersikap tiranik. Selalu ia membuat kekeliruan, dan tidak imbang jiwanya.
Segenap tingkah laku, perbuatan, sikap, pujian dan caci makinya bergantung pada
emosi-emosi/impuls-impuls sesaat. Berbeda dengan kedua tipe otokrat terdahulu
yang memiliki prinsip-prinsip konservatif dan kuat, otokrat inkompeten ini
justru tidak mempunyai prinsip. Dia tidak mau mengindahkan moral.
2.
Teori psikologis
Teori
ini menyatakan, bahwa seorang pemimpin adalah memunculkan dan mengembangkan
sistem motivasi terbaik, untukmerangsang kesediaan bekerja dari para pengikut
dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan, agar mereka mau bekerja, guna
mencapai sasaran-sasaran organisatoris maupun untuk memenuhi tujuan-tujuan
pribadi.
Maka
kepemimpinan yang mampu memotivir orang lain akan sangat mementingkan aspek-aspekpsikis
manusia seperti: pengakuan, martabat, status sosial, kepastian emosional,
memperhatikan keinginan dan kebutuhan pegawai, kegairahan kerja, minat, suasana
hati, dan lain-lain.
3. Teori
sosiologis
Kepemimpinan
dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-relasi dalam organisasi,
dan sebagai untuk menyelesaikan setiap konflik organisatoris antara para
pengikutnya, agar tercapai kerja sama yang baik. Pemimpin menetapkan
tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan
terakhir. Selanjutnya juga mengidentifikasi tujuan, dan kerap kali memberikan
petunjuk yang diperlukan bagi para pengikut untuk melakukan setiap tindakan
yang berkaitan dengan kepentingan kelompoknya.
Setiap
anggota mengetahui hasil apa, keyakinan apa, dan kelakuan apa yang diharapkan
dari mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin diharapkan dapat mengambil
tindakan-tindakan korektif apabila terdapat kepincangan-kepincangan dan
penyimpangan dalam organisasi.
4.
Teori suportif
Menurut
teori ii, para pengikut harus berusaha sejuat mungkin, dan bekerja dengan penuh
gairah, sedang pemimpin akan membimbing dengan sebaik-baiknya melalui policy
tertentu. Untuk maksud ini pemimpin perlu menciptakan suatu lingkungan kerja
yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal keinginan setiap pengikutnya
untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin, sanggup bekerjasama dengan pihak
lain, mau mengembangkan bakat dan skillnya, dan menyadari benat keinginan
sendiri untuk maju.
Ada
pihak yang menamakan teori suportif ini sebagai teori partisipatif dan ada pula
yang menamakannya sebagai teori kepemimpinan demokratis.
5.
Teori laissez faire
Kepemimpinan Laissez Faire ditampilkan oleh seorang tokoh
“ketua dewan” yang sebenarnya tidak becus mengurus dan dia menyerahkan semua
tanggung jawab serta pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dia
adalah seorang ketua yang bertindak sebagai simbol, dengan macam-macam hiasan
atau ornamen yang mentereng. Biasanya dia tidak memiliki keterampilan teknis.
Sedangkan kedudukan sebagai pemimpin di mungkinkan oleh sistem nepotisme, atau
lewat praktek penyuapan.
Dia
mempunyai sedikit keterampilan teknis, namun disebabkan oleh karakternya yang
lemah, tidak berpendirian serta tidak berprinsip, maka semua hal itu
mengakibatkan tidak adanya kewibawaan juga tidak ada kontrol. Dia tidak mampu
mengkoordinasikan semua jenis pekerjaan. Tidak berdaya menciptakan suasana yang
kooperatif, sehingga lembaga atau perusahaan menjadi kacau-balau, kocar-kacir,
dan pada hakikatnya organisasinya mirip seekor “belut tanpa kepala”.
Pendeknya,
pemimpin laissez faire itu pada intinya bukanlah seorang pemimpin dalam
pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya bersikap
santai-santai dan bermotto “lebih baik tidak usah bekerja saja”. Mereka menunjukan
sikap acuh tak acuh. Sehingga kelompok tersebut praktis menjadi tidak
terbimbing dan terkontrol.
6. Teori
kelakuan pribadi
Kepemimpinan
jenis ini akan muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi atau pola-pola
kelakuan para pemimpinnya. Teori ini meyatakan, bahwa seorang itu selalu
berkelakuan kurang lebih sama, yaitu ia tidak melakukan tndakan-tindakan yang
identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus
mampu bersikap flexible, luwes bijaksana, tahu gelagat, dan mempunyai daya
lenting yang tinggi karena dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang
paling tepat untuk sesuatu masalah. Sedang masalah sosial itu tidak akan pernah
identik sama di dalam runtunan waktu yang berbeda.
Pola
tingkah laku pemimpin tersebut erat berkaitan dengan:
a) Bakat
dan kemampuannya
b) Kondisi
dan situasi yang dihadapi
c) Good
will atau keinginan untuk memutuskan dan memecahkan permasalahan yang timbul
d) Derajat
supervisi dan ketajaman evaluasinya
7.
Teori sifat orang-orang besar
Sudah
banyak usaha yang dilakukan untuk mengidentifikasikan sifat-sifat unggul dan
kualitas superior serta unik, yang diharapkan ada pada seorang pemimpin, untuk
meramalkan kesuksesan kepemimpinannya. Ada beberapa ciri unggul sebagai
predisposisi yang diharapkan akan dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:
Memiliki
intelegensi tinggi, banyak inisiatif, energik, punya kedewasaan emosional,
memiliki daya persuasif, dan keterampilan, memiliki kepercayaan diri, peka,
kreatif, mau memeberikan partisipasi sosial yang tinggi, dan lain-lain.
8. Teori
situasi
Teori
ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/flexibilitas
pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tntutan situasi, lingkungan
sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan itu harus dijadikan tantangan untuk
diatasi.
Maka pemimpin itu harus mampu menyelesaikan
masalah-masalah aktual dewasa itu. Sebab permasalhan-permasalahan hidup dan
saat-saat krisis yang penuh pergolakan dan ancaman bahaya, selalu akan
memunculkan stu tipe kepemimpinan yang relevan bagi masa itu.
Maka
kepemimpinan harus bersifat “multi-dimensional” serba bisa dan serba terampil,
agar ia mampu melibatkan diri dan menyesuaikan diri terhadap masyarakat dan
dunia business yang cepat berubah. Teori
ini beranggapan bahwa kepemimpinan itu terdiri atas tiga elemen dasar yaitu:
pemimpin-pengikut-situasi. Maka situasi dianggap sebagai elemen paling penting,
karena memiliki paling banyak variable dan kemungkinan yang bisa terjadi.
9. Teori
humanstik/populistik
Fungsi
kepemimpinan menurut teori ini ialah merealisasir kebebasan manusia dan
memenuhi segenap kebutuhan insani yang
dicapai melalui interaksi pemimpin dengan rakyat. Untuk melakukan hal ini perlu
adanya organisasi yang baik dan pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan
kepentingan dan kebutuhan rakyat. Organisasi tersebut juga berperan sebagai
sarana untuk melakukan kontrol sosial, agar pemerintah melakukan fungsinya
dengan baik, serta memperhatikan kemampuan dan potensi rakyat. Semua itu dapat
dilaksanakan melalui interaksi dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan
rakyat dengan memperhatikan interest masing-masing.
C. Tipe Kepemimpinan
1. Tipe
karismatik
Tipe
ini memiliki energi daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk mempengaruhi
orang lain, sehingga ia mempunya pengikut yang sangat besar jumlahnya dan
pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Sampai sekarangpun orang tidak
mengetahui benar sebab-sebabnya, mengapa seorang itu memiliki kharisma begitu
besar. Dia dianggap mempunyai kekuatan ghaib dan kemampuan-kemampuan yang
superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Dia banyak
memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri.
Totalitas kepribadian pemimpin itu memancar pengaruh dan daya tarik yang
teramat besar.
2. Tipe
paternalistis dan maternalistis
Yaitu
tipe kepemimpinan yang kebapakan, dengan sifat-sifat antara lain :
a) Dia
menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendii
yang perlu dikembangkan
b) Dia
bersikap terlalu melindungi
c) Jarang
dia memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri
d) Dia
hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
berinisiatif
e) Dia
tidak memberikan atau hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada
pengikut dan bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri
f) Selalu
bersikap maha-tahu dan maha-benar
3. Tipe
militeristis
Tipe
ini sifatnya sok kemiliter-militeran. Hanya gaya luaran saja yang mencontoh
gaya militer. Tetapi jika dilihat lebih seksama, tioe ini mirip sekali dengan
tipe kepemimpinan otoriter. Hendaknya dipahami, bahwa tipe kepemimpinan
militeristis itu berbeda sekali dengan kepemimpinan organisasi militer.
4. Tipe
otokratis
Kepemimpinan
otokrasi itu mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus
dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pamain tunggal pada a one-man
show. Dia berambisi sekali untuk merajai situasi. Setiap perintah dan kebijakan
ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahan-nya. Anak buah tidak pernah
diberi informasi mendetail mengenai rencana dan tindakan yang harus dilakukan.
Semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah atas pertimbangan pribadi
pemimpin sendiri.
5. Tipe
laisser faire
Pada
tipe kepemimpinan laisser faire ini sang pemimpin praktis tidak memimpin, dia
membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri. Pemimpin tidak
berpartisipasi sedikitpun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan
tanggunga jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Dia merupakan pemimpin
simbol, dan biasanya tidak memiliki keterampilan teknis.
6. Tipe
populistis
Kepemimpinan
populistis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional.
Juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang-hutang luar
negeri. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan (kembali) nasionalisme.
7. Tipe
administratif
Kepemimpinan
tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas
administrasi secara efektif. Sedang para pemimpinnya terdiri dari teknokrat dan
mika modernisasi dan pembangunan. Dengan demikian dapat dibangun sistem
administrasi dan birokrasi yang efesien untuk memerintah, yaitu untuk
memantapkan integritas bangsa pada khususnya, dan usaha pembangunan pada
umumnya. Dengan kepemimpinan adminstratif ini diharapkan adanya perkembangan teknis,
yaitu teknologi, industri, manajemen modern, dan perkembangan sosial di tengah
masyarakat.
8. Tipe
demokratis
Kepemimpinan
demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efesien
kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan,
dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal dan kerjasama yang baik.
Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada person atau individu
pemimpin akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap
warga kelompok.
D. Gaya Kepemimpinan
1. Gaya
kepemimpinan kontinum
Gaya
ini sebenarnya termasuk klasik. Orang yang pertama kali mengenalka ialah Robert
Tannenbaum dan Warren Schmidr. Ada dua bidang pengaruh yang ekstern. Pertama,
bidang pengaruh pimpinan dan kedua, bidang pengaruh kebebasan bawahan. Pada
bidang pertama pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya,
sedangkan pada bidang kedua pemimpin menunjukan gaya yang demokratis. Kedua
bidang pengaruh ini dipergunakan dalam hubungannya kalau pemimpin melakukan
aktivitas pembuatan keputusan. Ada tujuh model gaya pembuatan keputusan yang
dilakukan pemimpin.
2. Gaya
managerial grid
Salah
satu usaha yang terkenal dalam rangka mengidentifikasikan gaya kepemimpinan
yang diterapkan dalam manajemen ialah manajerial grid. Usaha ini dilakukan oleh
Robert R. Blake dan Jane S. Mouton. Dalam pendekatan manajerial grid ini,
manager berhubungan dengan dua hal, yakni produksi disatu pihak dan orang-orang
pihak lain. Sebagaimana dikehendaki oleh Blake dan Mouton, managerial grid
disini ditekankan bagaimana manajer memikirkan mengenai produksi dan hubungan
kerja dengan manusia. Bukannya ditekankan pada berapa banyak produksi harus
dihasilkan, dan berapa banyak ia harus berhubungan dengan bawahannya.
Melainkan, jika ia memikirkan produksi maka dipahami sebagai suatu sikap bagi
seorang pimpinan untuk mengetahui berapa luas dan anekanya sesuatu produksi
itu.
Menurut
Blake dan Mouton, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokan sebagai gaya
ekstern, sedangkan lain-lainnya hanya satu gaya yang dikatakan ditengah-tengah
gaya ekstern tersebut. Gaya kepemimpina dalam managerial grid itu antara lain
sebagai berikut:
a) Pada
Grid 1.1 manager sedikit sekali usahanya untuk memikirkan orang-orang yang
bekerja dengannya, dan produksi yang seharusnya dihasilkan oleh organisasinya.
Dalam menjalankan tugas manajer dalam grid ini menganggap dirinya sebagai
perantara yang hanya mengkomunikasikan informasi dari atasan kepada bawahan.
b) Pada
Grid 9.9 manajer mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan
baik produksi maupun orang-orang yang bekerja dengannya. Dia mencoba
merencanakan semua usaha-usahanya dengan senantiasa memikirkan dedikasinya pada
produksi dan nasib orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Manajer yang termasuk
grid ini dapat dikatakan sebagai “manajer tim” yang riel. Dia mampu untuk
memadukan kebutuhan-kebutuhan produksi dengan kebutuhan-kebutuhan orang-orang
secara individu.
c) Pada
grid 1.9, ini gaya kepemimpinan dari manajer ialah mempunyai rasa tanggunga jawab
yang tinggi untuk selalu memikirkan orang-orang yang bekerja dalam
organisasinya. Tetapi pemikirannya tentang produk rendah. Manajer semacam ini
sering dinamakan pemimpin klub (the country club management). Manajer ini
berusaha menciptakan suasana lingkungan yang semua orang bisa bekerja rilek,
bersahabat, dan bahagia bekerja dalam organisasinya. Dlam suasana seperti ini
tidak ada seorang pun yang mau memikirkan tentang usaha-usaha koordinasi guna
mencapai tujuan organisasi.
d) Pada
grid 9.1, ini kadangkala manajer disebut sebagai manajer yang menjalankan tugas
secara otokratis. Manajer semacam ini hanya mau memikirkan tentang usaha
peningkatan efesiensi pelaksanaan kerja, tidak mempunyai atau hanya sedikit
rasa tanggung jawabnya pada orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Dan
lebih dari itu gaya kepemimpiannya lebih menonjol otokratisnya.
e) Selain
empat gaya yang ekstern di atas, ada gaya yang berada titengah-tengah. Manajer
semacam ini termasuk dalam grid 5.5, dalam hal ini manajer mempunyai pemikiran
yang medium baik pada produksi maupun pada orang-orang. Dia berusaha mencoba
menciptakan dan membina moral orang-orang yang bekerja dalam organisasi yang
dipimpinnya, dan produksi dalam tingkat yang memadai, tidak terlampau menyolok.
Dan tidak menciptakan target terlampau tingggi sehingga sulit dicapai dan
berbaik hati mendorong orang-orang untuk bekerja lebih baik.
3. Tiga dimensi redin
Redin
melihat gaya kepemimpinan itu dipulangkan pada dua hal mendasar yakni
hubungannya pemimpin dengan tugas dan hubungan kerja. Sehingga dengan demikian
model yang dibangun Reddin adalah gaya kepemimpinan yang cocok dan yang
mempunyai pengaruh terhadap lingkungannya.
Gaya
yang efektif, gaya ini seperti yang dikatkan diatar merupakan pengembangan dari
gaya dasar. Ada empat gaya dalam kotak yang efektif ini. Empat gaya itu antara
lain:
a) Eksekutif,
gaya ini banyak memberikan perhatian dan tugas-tugas pekerjaan dan hubungan
kerja, seorang manajer yang mempergunakan gaya ini disebut sebagai motivator
yang baik, mau menetapkan standar kerja yang tinggi, berkehendak mengenal
perbedaan di antara individu, dan berkeinginan mempergunakan pengembangan.
b) Pecinta
pengembangan, gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap hubungan
kerja, dan perhatian yang minimum terhadap tugas-tugas pekerjaan. Seorang
manajer yang mempergunakan gaya ini mempunyai kepercayaan yang implisit
terhadap orang-orang yang bekerja dalam organisasinya, dan sangat memperhatikan
terhadap pengembangan mereka sebagai seorang individu.
c) Otokrasi
yang baik hati, gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas, dan
perhatian yang minimum terhadap hubungan kerja. Seorang manajer yang
mempergunakan gaya ini mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan
bagaimana memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan ketidak seganan
di pihak lain.
d) Birokrat,
gaya ini memberikan perhatian yang minimum terhadap baik tugas maupun hubungan
kerja. Seorang manajer yang mempergunakan gaya ini sangat tertaik pada
peraturan-peraturan dan menginginkan memeliharanya, serta melakukan kontrol
situasi secara teliti.
Gaya
yang tidak efektif, gaya ini ada empat gaya kepemimpinan yang tergolong tidak
efektif. Empat gaya itu antara lain:
a) Pecinta
kompromi, gaya ini memberikan perhatian besar pada tugas dan hubungan kerja
dalam suatu situasi yang menekankan pada kompromi. Manajer yang bergaya seperti
ini merupakan pembuat keputusan yang jelek, banyak tekanan yang
mempengaruhinya.
b) Missionari,
gaya ini memberikan penekanan yang maksimum pada orang-orang dan hubungan
kerja, tetapi memberikan perhatian yang minimum terhadap tugas dengan perilaku
yang tidak sesuai. Manajer semacam ini hanya menilai keharmonisan sebagai suatu
tujuan dalam dirinya sendiri.
c) Otokrat,
gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas dan minimum terhadap
hubungan kerja dengan suatu perilaku yang tidak sesuai. Manajer seperti ini
tidak mempunyai kepercayaan pada orang lain, tidak menyenangkan dan hanya
tertarik pada jenis pekerjaan yang segera selesai.
d) Lari
dari tugas, gaya ini sama sekali tidak memberikan perhatian baik pada tugas
maupun pada hubungan kerja. Dalam situasi tetentu gaya ini tidak begitu
terpuji, karena manajer seperti ini menunjukan pasif tidak mau ikut campur
tangan secara aktif dan positif.
4. Empat
sistem manajemen dari Likert
a) Sistem
1, dalam siste ini pemimpin bergaya sebagai exploitive-authoritative. Manajer
dalam hal ini sangat otokratis, mempunyai sedikit kepercayaan kepada
bawahannya. Suka mengeksploitasi bawahan, dan bersikap paternalistik. Cara
pemimpin ini dalam memotivasi bawahannya dengan memberi ketakutan dan
hukuman-hukuman, diselang-seling pemberian penghargaan yang secara kebetulan.
Pemimpin dalam sistem ini, hanya mau memperhatikan pada komunikasi yang turun
ke bawah, dan hanya membatasi proses pengambilan keputusan di tingkat atas
saja.
b) Sistem
2, dalam sistem ini pemimpin dinamakan otokratis yang baik hati. Pemimpin atau
manajer-manajer yang termasuk dalam sistem ini mempunyai kepercayaan yang
berselubung, percaya pada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah-hadiah dan ketakutan
berikut hukuman-hukuman, memperbolehkan adanya komunikasi keatas, mendengarkan
pendapat-pendapat, ide-ide dari bawahan, dan memperbolehkan adanya delegasi
wewenang dalam proses keputusan. Bawahan merasa tidak bebas untuk membicarakan
sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaannya dengan atasannya.
c) Sistem
3, dalam sistem ini gaya kepemimpinan lebih dikenal dengan sebutan manajer
konsultatif. Manajer dalam hal inimempunyai sedikit kepercayaan pada bawahan
biasanya dalam hal kalau ia membutuhkan informasi, ide atau pendapat bawahan,
ia masih menginginkan melakukan pengendalian atas keputusan-keputusan yang
dibuatnya. Pemimpin bergaya ini mau melakukan motivasi dengan penghargaan dan
hukuman yang kebetulan, dan juga berkehendak melakukan partisipasi. Dia juga
suka menetapkan dua pola hubungan komunikasi yakni ke atas dan ke bawah. Dalam
hal ini dia membuat keputusan dan kebijakan yang luas pada tingkat atas tetapi
keputusan yang mengkhusus pada tingkat
bawah. Bawahan di sini merasa sedikit bebas untuk membicarakan sesuatu yang
bertalian dengan tugas pekerjaan bersama atasannya.
d) Sistem
4, oleh Likert sistem dinamakan pemimpin yang bergaya kelompok berpartisipatif.
Dlam hal ini manajer mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahannya.
Dalam setiap persoalan, selalu mengandalkan untuk mendapatkan ide-ide dan
pendapat-pendapat lainnya dan bawahan, dan mempunyai niatan untuk mempergunakan
pendapat bawahan secara konstruktif. Memberikan penghargaan yang bersifat
ekonomis, dengan berdasarkan partisipasi kelompok dan keterlibatannya pada
setiap urusan terutama dalam penentuan tujuan bersama dan penilaian kemajuan
pencapaian tujuan tersebut.
E. Fungsi Kepemimpinan
Secara
operasional dapat dibedakan dalam lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu :
a) Fungsi
instruksi
Fungsi ini bersifat
komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang
menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di mana perintah itu dikerjakan agar
keputusan dapat dilaksanakan secara efektif . kepemimpinan yang efektif memerlukan
kemampuan untuk menggerakan dan memotivasi orang lain agar mau melaksanakan
perintah.
b) Fungsi
Konsultasi
Fungsi ini bersifat
komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan,
pemimpin kerapkali memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskannya
berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai mempunyai
berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap
berikutnya konsultasi dari pimpinan pada orang-orang yang dipimpin dapat
dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi
itu dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik untuk memperbaikia
dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksnakan.
Dengan menjalankan fungsi konsultatif dapat diharapkan keputusan-keputusan
pimpinan, akan mendapat dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya, sehingga
kepemimpinan berlangsung efektif.
c) Fungsi
Partisipasi
Dalam menjalankan
fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik
dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya.
Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara
terkendali dan terarah berupa kerja sama
dengan tidak mencampuri atau mengambiltugas pokok orang lain. Keikutsertaan
pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan pelaksana.
d) Fungsi
Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan
dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik
melalui persetujuan dari pimpinan. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti
kepercayaan. Orang-orang peneima delegasi itu harus diyakini merupakan pembantu
pemimpin yang memilki kesamaan prinsip, persepsi dan aspirasi.
e) Fungsi
Pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa
kepemimpinan yang sukses/efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara
terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya
tujuan bersama secara maksimal. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui
kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.
2.2 PERAN KEPEMIMPINAN DALAM
MENGENDALIKAN KONFLIK
A. Pengertian
Konflik
Konflik
merupakan suasana batin yang berisi kegelisahan karena pertentangan dua motif
atau lebih, yang mendorong seseorang berbuat dua atau lebih kegiatan yang
saling bertentangan pada waktu yang bersamaan. Konflik pada hakikatnya adalah
segala sesuatu interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua pihak atau
lebih. Konflik organisasi adalah ketidak sesuaian antara dua atau lebih
anggota-anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya
kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya-sumber daya yang terbatas atau
kerja dan/ataukarena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan,
nilai, atau persepsi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah
percekcokkan, perselisihan, pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja
bahasa latin yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara Sosiologis
konflik diartikan sebagai proses social antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa konflik adalah pertentangan dalam hubungan kemanusiaan (intrapersonal
atau interpersonal) antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam mencapai
suatu tujuan, yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan, emosi/psikologi,
dan nilai.
B. Komponen
Konflik
Secara umum konflik itu
terdiri atas tiga komponen, yaitu :
a) Interest
(kepentingan), yakni sesuatu yang memotivasi orang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Memotivasi ini tidak hanya dari bagian keinginan pribadi
seseoang tetapi juga dari peran dan statusnya.
b) Emotion
(emosi), yang sering diwujudkan melalui perasaan yang menyertai sebagian besar
interaksi manusia seperti marah, kebencian, takut, penolakan.
c) Values
(nilai), yakni komponen konflik yang paling susah dipecahkan karena nilai itu
merupakan hal yang tidak bisa diraba dan dinyatakan secara nyata. Nilai berada
pada kedalaman akar pemikiran dan perasaan tentang benar dan salah, baik dan
buruk yang mengarahkan dan memelihara perilaku manusia.
C. Sumber
Konflik
Sumber-sumber konflik
dapat dibagi menjadi lima bagian:
a) Biososial,
para pakar manajemen menempatkan frustasi-agresi sebagi sumber konflik.
Berdasarkan pendekatan ini frustasi sering menghasilkan agresi yang mengarah
pada terjadinya konflik. Frustasi juga dihasilkan dari kecenderungan akspektasi
pencapaian yang lebih cepat dari apa yang seharusnya.
b) Kepribadian
dan interaksi, termasuk di dalamnya kepribadian yang abrasif (suka menghasut),
gangguan psikologi, kemiskinan, ketrampilan interpersonal, kejengkelan,
persaingan, perbedaan gaya interaksi, ketidaksederajatan hubungan.
c) Struktural,
banyak konflik yang melekat pada struktur organisasi dan masyarakat. Kekuasaan,
status, dan kelas merupakan hal-hal yang berpotensimenjadi konflik, seperti
tentang hak asasi manusia, gender, dan sebagainya.
d) Budaya
dan ideologi, intensitas konflik dari sumber ini sering dihasilkan dari
perbedaan politik, sosial, agama, dan budaya. Konflik ini juga timbul di antara
masyarakat karena perbedaan sistem nilai.
e) Konvergensi
(gabungan), dalam situasi tertentu sumber-sumber konflik itu menjadi satu,
sehingga menimbulkan kompleksitas konflik itu sendiri.
D. Proses
pengendalian Konflik
Proses pengendalian
koflik itu bermula dari persepsi tentang konflk itu sendiri, apa komponennya
dan bersumber dari mana, kemudian menuju ke tahap realisai, penghindaran,
intervensi, pemulihan strategi dan implementasi, dan evaluasi dampak yang
ditimbulkan oleh konflik.
Ada beberapa cara yang
dapat dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kepemimpinannya untuk mengatasi
atau mengendalikan konflik itu, yaitu:
a) Memberikan
kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk mengemukakan pendapatnya tentang
kondisi-kondisi penting yang diinginkan, yang menurut persepsi masing-masing
harus dipenuhi dengan pemanfaatan berbagai sumber daya dan dana yang tersedia.
b) Cara
lain yang sering ditempuh untuk mengatasi situasi konflik ialah dengan meminta
satu pihak menempatkan diri pada posisi orang lain dan memberikan argumentasi
yang mendukung suatu gagasan seolah-olah menetangnya, dan sebaliknya pihak yang
tadinya menentang satu gagasan seolah-olah mendukungnya. Setelah itu tiap-tiap
pihak diberi kesempatan untuk melihat posisi orang laih dari sudut pandang
pihak lain.
c) Kewenangan
pimpinan sebagai sumber kekuatan kelompok. Seorang manajer yang bertugas
memimpin suatu kelompok, untuk mengambil keputusan, atau memecahkan masalah
secara efektif, perlu memiliki kemahiran menggunakan kekuasaan atau kewenangan
yang melekat pada perannya.
Selain
itu ada beberapa cara untuk mengatasi konflik manurut Nader dan Todd, yaitu :
a) Bersabar
(Lumping), yaitu suatu tindakan yang merujuk pada sikap untuk mengabaikan
konflik begitu saja atau dengan kata lain isu-isu dalam konflik itu mudah untuk
diabaikan, meskipun hubungan dengan dengan orang yang berkonflik itu berlanjut,
karena orang berkonflik kekurangan informasi atau akses hukum tidak akurat.
b) Penghindaran
(Avoidance), yaitu suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengakhiri hubungannya dengan cara meninggalkan. Keputusan
untuk meninggalkan konflik itu didasarkan pada perhitungan bahwa konflik yang
terjadi atau dibuat tidak meiliki kekuatan secara sosial, ekonomi, dan
emosional.
c) Kekerasan/paksaan
(coercion), yaitu suatu tindakan yang diambil dalam mengatasi konflik jika
dipandang bahwa dampak yang ditimbulkan membahayakan.
d) Negosiasi
(negotiation), ialah tindakan yang menyangkut pandangan bahwa penyelesaian
konflik dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkonflik secara bersama-sama
tanpa melibatkan pihak ketiga. Kelompok tidak mencari pencapaian solusi dalam
term satu aturan, tetapi membuat aturan yang dapat mengorganisasi hubungannya
dengan pihak lain.
e) Konsiliasi,
yaiut tindakan untuk membawa semua yang berkonflik ke meja perundingan.
Konsiliator tidak perlu memainkan secara aktif satu bagian dari tahap negosiasi
meskipun ia mungkin bisa melakukannya dalam batas diminta oleh yang berkonflik.
Konsiliator sering menawarkan kontekstual bagi adanya negosiasi dan bertindak
sebagai penengah.
f) Mediasi,
hal ini menyangkut pihak ketiga yang ikut menangani/membantu menyelesaikan
konflik agar tercapai persetujuan. Pihak ketiga ini bisa dipilih oleh pihak-pihak
yang berkonflik atau perwakilan dari luar. Pihak-pihak yang berkonflik itu
menyerahkan penyelesaian konflik kepada pihak ketiga tersebut.
g) Arbitrasi,
kedua belah pihak yang berkonflik setuju pada keterlibatan pihak ketiga yang
memiliki otoritas hukum dan mereka
sebelumnya harus setuju untuk menerima keputusannya.
h) Peradilan,
hal ini merujuk pada intervensi pihak ketiga yang berwenang untuk campur tangan
dalam penyelesaian konflik, apakah pihak-pihak yang berkonflik itu menginginkan
atau tidak.
E. Gaya-gaya
Pengendalian Konflik
Pendekatan berikut ini
dapat digunakan sebagai kontribusi peran kepemimpinan dalam
mengendalikan/menyelesaikan konflik:
a) Sanggup
menyampaikan pokok masalah penyebab timbulnya konflik
Konflik tidak dapat diselesaikan jika permasalahan
pokoknya terisolasi. Konflik sangat tergantung pada konteks dan setiap pihak
yang terkait seharusnya memahami konteks tersebut. Permasalahan menjadi jelas
tidak berdasarkan asumsi, melainkan jika disampaikan dalam pernyataanpasti.
b) Mau
mengakui adanya konflik
Pendekatan dengan konfrontasi dalam menyelesaikan
konflik biasanya justru mengarahkan orang untuk membentuk kubu. Untuk itu,
bicarakan pokok permasalahan, bukan siapa yang menjadi penyebabnya.
c) Bersedia
melatih diri untuk mendengarkan dan mempelajari perbedaan
Pada umumnya kemauan mendengarkan sesuatu dibarengi
dengan keinginan untuk memberi tanggapan. Seharusnya kedua belah pihak berusaha
untuk benar-benar saling mendengarkan.
d) Sanggup
mengajukan usul atau nasihat
Ajukan usul baru yang didasari oleh tujuan kedua
belah pihak dan dapat mengakomodasi keduanya. Tawarkan juga kesediaan untuk
selalu dapat membantu perwujudan rencana-rencana tersebut.
e) Meminimalisasi
ketidakcocokan
Cari jalan tengah di antara kedua belah pihak yang
sering berbeda pandangan dan pendapat. Fokuslah pada persamaan dengan
mempertimbangkan perbedaan yang sifatnya tidak mendasar.
F.
Mengidentifikasi
Tahap-tahap konflik
Sebagaimana
dinyatakan oleh Hendrick, bahwa secara umum ada tiga tahapan konflik yang pada
dasarnya merupakan suatu rangakaian yang dapat dikelola. Tiga tahapan konflik
itu antara lain
a. Konflik sebagai
peristiwa sehari-hari.
Konflik ini terjadi secara terus menerus dan biasanya
memerlukan sedikit perhatian. Umumnya individu tanpa menyadari menerapkan
strategi pengelolaan konflik dengan cermat. Keahlian mengelola konflik secara
telaten adalah piranti yang canggih untuk menyelesaikan konflik pada tahap ini.
Strategi pengelolaan konflik yang cermat dan penuh kesabaran, seperti
membiarkan tindakan mitra kerja, adalah paling efektif apabila mitara kerja itu
menyadarinya.
Konflik tahap ini ditandai oleh perasaan jengkel
sehari-hari. Perasaan jengkel ini dapat berlalu begitu saja, kadang-kadang
muncul tidak menentu. Tapi rasa jengkel dapat menjadi masalah. Strategi manajemen
konflik pada tingkat ini harus memeperhatikan apakah rasa jengkel itu berganti
menjadi masalah.
Ada beberapa cara dalam menangani konflik pada tahap satu
ini, yaitu
- Membuat suatu proses yang menguji dari dua sisi. Dapatkah suatu kerangka dibuat sehingga mampu meningkatkan pemahaman satu sama lain.
- Bertanyalah jika reaksi itu proporsional dengan keadaan. Apakah kelompok ini membawa sisa emosi dan peristiwa lain ?
- Identifikasikan poin-poin kesepakatan dan bekerjalah menurut poin-poin tersebut, kemudian baru mengidentifikasikan poin-poin ketidaksepakatan.
b. Konflik sebagai tantangan.
Pada tahap ini, konflik dipahami sebagai unsur kompetisi
yang ditandai dengan “sikap kalah menang”. Kekalahan tampaknya lebih besar pada
tahap ini sebab orang diikat oleh masalah. Kepentingan pribadi dan bagaimana
seseorang melihat menjadi sangat penting.
Pada tahap dua ini, orang menjaga dan mempertahankan
kemenangan verbal dan merekam kesalahan, dan melihat dari satu sisi. Dan
tingkat komitmen diperlukan untuk bekerja kendati konflik juga meningkat.
Di bawah ini beberapa gagasan dalam menangani konflik tahap
dua, antara lain:
- Buatlah suasana yang aman dan ciptakan suatu lingkungan di mana setiap orang merasa aman.
- Tegaslah terhadap fakta, tapi lunak terhadap orang. Ambillah penambahan waktu untuk mendapatkan setiap detail.
- Buatlah pekerjaan resmi sebagai pekerjaan tim, dan bagilah tanggung jawab sehingga setiap orang mempunyai alternatif untuk dapat menyesuaikan diri. Tekankan pentingnya kesatuan tanggung jawab.
- Carilah kesepakatan minimal, tapi tidak dianjurkan membuat kompromi. Karena kompromi secara tidak langsung akan mengorbankan poin yang menjadi harapan.
- Berikan waktu untuk menarik kelompok yang bersaing menerima kesepakatan tanpa memberikan konsesi atau mengeluarkan tekanan.
- Ingat, ini adalah upaya keras dan susah untuik mendudukkan orang yang sedang bersaing untk berada dalam satu meja.
c.
Konflik sebagai pertentangan.
Konflik
pada tahap tiga tujuannya mengubah keinginan untukmenang menjadi keinginan
untuk mencederai. Motivasinya adalah untuk “menghilangkan” kelompok lain.
Perubahan situasi dan pemecahan masalah tidak lagi dapat memuaskan sehingg
akhirnya ke konflik tahap tiga.
Pemimpin
yang muncul dari kelompok yang berkonflik bertindak sebagai juru bicara. Pihak
luar dituduh sebagai pihak yang menyebabkan timbulnya konflik.
Ada beberapa cara untuk menangani
konflik tahap tiga, yaitu:
·
Detail
adalah penting, arinya bahwa campur tangan tim dari luar harus mau
memperhatikan setiap detail.
·
Lembaga
harus menyediakan waktu tambahan untuk mewawancarai semua orang yang terlibat
dalam konflik.
·
Alasan
dan logika tidak efektif untuk menyadarkan kelompok yang sedang bertikai untuk
mengakhiri konflik.
·
Jelaskan
tujuan dari lembaga dan ciptakan suasana yang menumbuhkan rasa dituntun
sehingga individu yang terlibat konflik itu akan mundur sebagi pemenang.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Definisi kepemimpinan secara luas
meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi
perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki
kelompok dan budayanya.
Seorang emimpin harus dapat
mengendalikan konflik yang terjadi dalam organisasi yang di pimpinnya. Konflik
itu sediri terjadi karena beberapa hal diantaranya:
a)
Biososial, para pakar manajemen
menempatkan frustasi-agresi sebagi sumber konflik.
b)
Kepribadian dan interaksi, termasuk di
dalamnya kepribadian yang abrasif (suka menghasut)
c)
Struktural, banyak konflik yang melekat
pada struktur organisasi dan masyarakat.
d)
Budaya dan ideologi
e)
Konvergensi (gabungan)
Dengan banyaknya sumber terjadinya
konflik tersebut seorang pemimpin tentu harus mengatasi atau meminimalisir
konflik yang terjadi dalam organisasi yang di pimpinnya. Pendekatan berikut ini
dapat digunakan sebagai kontribusi peran kepemimpinan dalam
mengendalikan/menyelesaikan konflik:
a)
Sanggup menyampaikan pokok masalah
penyebab timbulnya konflik
b)
Mau mengakui adanya konflik
c)
Bersedia melatih diri untuk mendengarkan
dan mempelajari perbedaan
d)
Sanggup mengajukan usul atau nasihat
e)
Meminimalisasi ketidakcocokan
3.2 Saran-saran
Berdasarkan pembahasan diatas maka
penulis memberikan beberapa saran mengenai kepemimpinan dalam mengendalikan
konflik
Untuk kepemimpinan itu sendiri ada
beberapa saran:
a) Seorang
pemimpin hendaknya selalu menggunakan pendekatan psikologi dalam menghadapai
setiap anggotanya
b) Selalu
memantau setiap anggotanya dalam menjalankan organisasi
c) Selalu
mengadakan sebuah pertandingan/perlombaan antar anggota organisasi agar terjadi
kerjasama yang baik antar angggota
d) Cepat
tanggap terhadap masalah yang ada meskipun masalah tersebut masih tergolong
kecil
e) Jika
terlanjur terjadi konflik antar anggota maka seorang pemimpin tidak membiarkan
masalah tersebut berkembang lagi.
Sedangkan
untuk para anggota organisasi:
a) Berusaha
selalu terbuka kepada pimpinan mengenai masalah yang terjadi dalam organisasi
b) Meminta
pendapat pimpinan jika terjadi konflik antar anggota organisasi
c) Bersikap
netral jika ada anggota lain yang sedang berkonflik
DAFTAR
PUSTAKA
James, Ricard W.2004.Personal Leadership.Jakarta:PPM
Kartono, kartini.2003.Pemimpin dan
Kepemimpinan.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rivai, Veithzal.2003.Kepemimpinan dan Perilaku
Organsasi.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Thoha, Miftah.2003.Perilaku Organisasi.Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar