Minggu, 28 Oktober 2012

KLIPING MANAJEMEN ASET PUBLIK (Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah manajemen aset public serta sebagai syarat untuk mengikuti ujian tengah semester)


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.                                
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya kepada kami sehingga saya dapat menyelesaikan Kliping Manajemen aset public ini walaupun masih jauh dari sempurna.  Manajemen aset merupakan sebuah pengelolaan baik berwujud dan tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomi dan mampu mendorong tercapainya tujuan dari individu dan organisasi melalui proses manajemen agar dapat dimanfaatkan dan dapat mengurangi biaya secara efektif dan efesien.
Oleh karena itu, persoalan-persoalan aset public diberbagai daerah menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari. Penulis menyadari bahwa makalah ini adalah pekerjaan yang belum selesai, maka dari itu penulis meminta kritik dan saran untuk perbaikan di masa yang akan mendatang.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan kliping ini.
Wassalamualaikum wr. wb

Penulis 
 
 
1.      Kasus Pertama “Ditemukan Duplikasi Pencatatan 29 Aset Berupa Tanah dan            Bangunan. Sabtu, 16 Juni 2012 | 8:15 “
[SERANG]  Sebanyak 29 aset berupa tanah dan bangunan dengan luas 516.309 meter persegi hasil pelimpahan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov)  Jawa Barat, ditemukan duplikasi pencatatan  antara  Pemprov Banten dan pemerintah      kabupaten/kota.
Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang tercatat dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) Nomor 02/LHP/XVIII.SRG/05/2011. Tidak hanya itu, dalam LHP BPK juga tercatat adanya perbedaan nilai aset di empat kabupaten/kota  terhadap 29 tanah dan bangunan      tersebut.
Di Pemprov Banten nilai 29 aset tersebut sebesar Rp28,4 miliar sedangkan di empat pemerintah kabupaten/kota  tercatat sebesar Rp20,419    miliar.
Berdasarkan fakta yang ada,  BPK menyarankan Pemprov Banten untuk melakukan inventarisasi dan rekonsiliasi atas aset yang tercatat oleh pemerintah kabupaten/kota agar tidak terjadi     duplikasi.
Selain masalah itu, BPK juga menemukan aset bangunan yang sudah dirobohkan, namun masih tercatat di buku inventaris Provinsi Banten. Nilai aset yang sudah tidak ada tersebut mencapai Rp1,27 miliar. Total aset milik Pemprov Banten per 31 Desember 2011 mencapai Rp7,2      triliun.
Rinciannya, tanah senilai Rp3,44 triliun, peralatan dan mesin Rp485,28 miliar, gedung dan bangunan Rp821 miliar, jalan irigasi dan jaringan Rp2,42 triliun, aset tetap lainnya Rp7,9 miliar, serta kontruksi dalam pengerjaan Rp98,23 miliar.
Jika dibandingkan aset tetap per 31 Desember 2010 yang tercatat Rp 5,61 triliun, terdapat penambahan Rp1,67            triliun.
Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah  (DPKAD) Provinsi Banten Zaenal Mutaqin,  di Serang, Jumat (15/6) menjelaskan penataan  aset tidak bisa dilakukan  dalam jangka pendek. Oleh karena itu, lanjutnya, penataan aset harus melalui Rencana Jangka Menengah Daerah        (RPJMD).
Menurutnya,  dalam Raperda Organisasi Tata Kerja (ROTK) yang sudah masuk DPRD Banten, masalah aset akan dikelola oleh satu Satuan Kerja Perangkat Daerah     (SKPD).
“Nanti penataan aset lebih fokus. Kemudian pengelolaan keuangan diserahkan kepada satu SKPD aja,” ujarnya. Dalam penataan aset,  kata Zaenal,  harus dimulai dengan pendataan, kemudian melakukan uji petik. “Kita yakin, Pemprov mampu menata aset ini,”      ujarnya.

Harus Segera Diselesaikan

Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Banten Agus Puji Raharjo mengatakan, manfaat aset terhadap salah satu daerah memang harus jadi pertimbangan ketika aset tersebut menjadi   rebutan.
Contoh aset Pemprov Banten yang berada di Kota Tangerang seperti Situ Cipondoh,  kendati secara hukum itu adalah milik Pemprov Banten,  namun secara manfaat, Situ Cipondoh akan lebih berguna untuk masyarakat Kota Tangerang.
"Bukan mengabaikan hukum, tapi keberadaan Situ Cipondoh akan lebih bermanfaat bagi pemerintah  dan masyarakat Kota Tangerang," kata Agus.
Menurut Agus, permasalahan aset yang selama ini jadi temuan BPK  dalam setiap LHP harus segera diselesaikan. Jika persoalan ini tidak diselesaikan,  maka akan  timbul sengketa karena masing-masing merasa    memiliki.
Untuk aset yang berada di lintas daerah, Pemperov wajib menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah            tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Banten Muhadi menegaskan, Pemprov siap menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa perbatasan yang ada di Bandara Soekarno Hatta  antara Kabupaten Tangerang  dan Kota Tangerang. Bahkan, pihaknya telah mengundang kedua belah pihak dalam rapat koordinasi bersama pemerintah daerah lainnya, namun sayang dalam kesempatan tersebut perwakilan dari Kota Tangerang tidak  hadir.
"Pada prinsipnya Pemprov siap menjadi mediator untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang sifatnya lintas daerah."           tegasnya.

Pada bagian lain, Wakil Gubernur Banten Rano Karno mengatakan, aset memang menjadi masalah utama nasional, terlebih di Banten yang merupakan daerah pemekaran dari Jawa Barat. Untuk itu, idealnya di Banten ini harus ada badan aset  untuk menelusuri dan menyelesaikan masalah     aset.
"Tidak bisa dipungkiri, masalah aset juga menjadi penghambat suatu daerah dalam meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI," katanya.
Analisis :
Dalam kasus di atas  terlihat bahwa provinsi banten belum benar-benar melaksanakan menajemen asset dengan efektif. Duplikasi asset daerah ini seharusnya sudah dapat diperkirakan oleh pemerintah Provinsi Banten mengingat Banten merupakan daerah pemerakan dari Provinsi Jawa barat. Seharusnya ketika telah sah memisahkan diri dari jawa barat saat itu juga Banten harus melakukan manajemen asset. Yaitu inventarisasi asset dan identifikasi aset, hal ini sangat penting dilakukan oleh banten untuk mengetahui nilai-nilai aset yang dimiliki oleh banten itu sendiri dan untuk lebih jelas mengetahui bagaimana kondisi aset milik Banten itu sendiri. Sehingga dapat dikembangkan sesuai dengan nilai dari aset itu sendiri. Kesalahan disini Banten bias di bilang telat dalam mengidentifikasikan aset daerah dan menghitung nilai yang pasti pada aset tersebut.
Kesimpangsiuran atau duplikasi aset di provinsi banten disebabkan kurang adanya koordinasi antara pemerintah Provinsi Banten dengan pemerintah kabupaten/kota yang ada di wilayah itu sendiri. Sehingga masing-masing pemerintahan memiliki nilai aset yang berbeda satu sama lain. Kurangnya pengawasan terhadap aset daerah yang dimiliki dapat berakibat fatal dengan munculnya duplikasi aset tersebut dikabupaten/kota seperti yang terjadi pada kasus di atas. Hal ini dapat menimbulkan kurangnya kejelasan status kepemilikan aset daerah.
Kemudian banyaknya bangunan yang telah dirobohkan namun masih tercatat di DPKAD ini merupakan permasalan yang timbul karena kurangnya pengawasan terhadap aset daerah dan pengelolaan aset daerah yang belum efektif. Dalam pengelolaan aset darah pemerintah berkewajiban untuk melaporkan kondisj dan nilai BMD secara berkala. Hal ini penting untuk mengetahui  aset mana saja yang masih baik dan aset yang telah rusak serta aset yang telah dirobohkan. Sehingga tidak akan terjadi kesimpangsiuran dalam pencatatan aset seperti kasus diatas.
Permasalahan situ cipondoh harus segera diatasi oleh pemerintah provinsi Banten, mengingat aset tersebut lebih bermanfaat bagi kota tangerang agar tidak terjadi sengketa kepemilikan aset daerah tersebut. Pengamanan aset daerah harus dilaksanakan secara efektif dan efesien dalam mengatasi masalah situ cipondoh. Harus ada badan yang benar-benar mengurusi aset daerah di provinsi banten untuk melakukan pengelolaan aset secara maksimal, dan didukung oleh kebijakan dari pemerintah provinsi banten itu sendiri dalam pelaksanaan manajemen aset daerah.
Dalam kasus ini pemerintah Provinsi Banten haru melakukan pembukuan ulang mengenai semua aset yang dimiliki. Baik itu yang sudah tercatat maupun yang telah tercatat namun memiliki nilai yang masih simpangsiur. Hal ini harus segera dilaksanakan agar tidak adanya aset yang diakui oleh dareah lain yang kemudia akan menjadi sengketa kepemilikan aset antar daerah. Kegiatan ini pun dilakukan untuk mengantisipasi kondisi BMD dalam fungsi pelayanan public. Sehingga tidak ada aset yang kondisinya tidak diketahui atau dengan kondisi rusak ketika melakukan pelayanan public dan pelayanan public itu sendiri dapat terlaksana dengan baik dan maksimal.



2.      Kasus Kedua : “80 Persen Aset Daerah Belum Diinventariskan” (
Senin, 22 Oktober 2012 | 19:16:55 WITA | 95 HITS)

MAJENE, FAJAR -- Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam empat tahun terakhir menyebutkan bahwau Kabupaten Majene mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Hal ini disebabkan masih ada 80 persen aset daerah yang belum           diinventariskan.
Hal itu diungkapkan, Sekretaris Kabupaten Majene, Syamsiar Muchtar Machmud di hadapan seluruh panitia barang dan jasa yang mengikuti sosialisasi penatausahaan barang milik daerah Kabupaten Majene, di ruang pola Kantor Bupati, Sabtu, 20        Oktober.

Syamsiar mengungkapkan, salah satu kekurangan hasil laporan keuangan Kabupaten Majene selama ini adalah teknis pengelolaan aset daerah. Syamsiar mengatakan, ada sekitar 80 persen aset tetap daerah semisal tanah, bangunan, irigasi, infastruktur dan aset lainnya belum diinventariskan dengan benar.
"Untuk itu, segala permasalahan teknis dan kekurangan hasil laporan, harus mulai disesuaikan standar seperti yang tertuang dalam Permendagri Nomor 27 tentang Teknis Pengelolaan Aset Daerah," ujar      Syamsiar.
Menurut mantan Kepala Bappeda Majene ini, bupati mengisyaratkan paling lambat 2014, Kabupaten Majene harus naik peringkat dan memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Untuk itu, kata Syamsiar, semua pembinaan ataupun sosialisasi  harus dilakukan dengan serius dan    fokus.
"Untuk itu perlu peningkatan kualitas panitia barang dan jasa yang terus bekerja sama dengan BPKP Sulbar dalam hal pembinaan," tegas Syamsiar.
Sementara itu, auditor ahli madya BPKP Sulbar, I Gede Eka Prayoga mengungkapkan, untuk mendapatkan predikat WTP tidak begitu sulit. Menurutnya, harus ada perubahan pola kerja yang lama ke sistem yang seharusnya.
"Masalah yang selama ini terjadi karena kebiasaan mengulur waktu untuk mencatatkan barang dalam berita acara. Itu terus berlanjut sehingga pada akhirnya sudah tidak diketahui lagi berapa unit barang yang diterima," kata I Gede.
I Gede mengatakan, beberapa kasus yang ditangani BPKP, ada panitia barang dan jasa yang tidak detail dalam pencatatan. Padahal, menurut I Gede, semua barang yang diterima harus dicek dahulu fisiknya sebelum diterima, baik model maupun jumlahnya barulah          ditandatangani.
"Untuk itu, pemkab perlu membuat data base aset agar diketahui berapa aset yang dimiliki, posisi, jumlah, dan status kepemilikan. Karena banyak juga kasus gedung milik  pemkab namun tanah,  milik masyarakat," saran I Gede. (far)
Analisis :
Kasus di Majene merupakan kasus yang bisa dibilang sangat besar, karena 80% aset belum di inventarisasikan. Manajemen aset public belum terlaksana di Majene. Karena bahkan inventarisasi aset saja belum bias mereka realisasikan. Ini akan berakibat buruk jika dibiarkan terus-menerus. Tidak menutup kemungkinan aset-aset yang belum dicatat tersebut dapat diakui oleh daerah lain, bahkan bias sangat mudah di akui karena bukti kepemilikan aset tersebut saja belum dilakukan oleh Majene.
Reformasi birokrasi Publik harus segera dilakukan karena dalam kasus ini pemerintah masalah utama dalam penundaan inventarisasi aset. Reformasi birokrasi public mengubah seluruh system pemerintahan di Majene menjadi system yang lebih baik. Adanya New Publik Manajemen dapat meningkatkan kinerja dari pemerintah dalam pelaksanaan pemerintah, fleksibilitas pengelolaan, transparansi dan akuntabilitas dan lain-lain, untuk membuat cepat tercapainya tujuan daerah Majene tersebut. Sehingga tidak ada lagi anggota pemerintah yang mengulur waktu dalam melaksanakan pekerjaaan pemerintah khususnya dalam pengelolaan aset daerah.
Kurangnya kualitas para anggota pemerintahan di Majene turut mendukung pengelolaan aset public yang tidak maksimal. Kualitas SDM para anggota pemerintahan itu sendir dapat menentukan jalan atau tidaknya pengembangan aset yang dimiliki suatu daerah.
Peran dari manajemen aset itu sendiri adalah identifikasi potensi aset daerah, dengan mengidentifikasi potensi aset daerah, suatu daerah dapat menyusun strategi dalam pengembangan aset yang di milki sehingga daerah tersebut dapat mengoptimalisasi pendapatan asli daerah, untuk kemudian meningkatkan APBD daerah tersebut. Jika sampai saat ini Majene belum mengelola aset daerah dengan baik serta belum mneginventarisasi aset tersebut secara maksimal maka bagaimana pun usaha nya akan sulit untuk mengembangkan daerah Majene tersebut. Bahkan yang lebih buruk Majene hanya akan mendapatkan pendapatan asli daerah yang minim di banding daerah lain yang sudah mngembangkan aset yang dimilikinya.
Dalam kasus ini selain melakukan New Public Managemen di Majene, pemerintah daerah Majene pun harus memberikan pelatihan dan pembinaan kepada para anggota pengelola barang dan jasa daerah untuk meningkatkan kualitas mereka dalam pelaksanaan pengelolaan aset daerah. Sehingga dapat diketahui berapa jumlah aset yang dimiliki dan aset yang telah rusak serta aset-aset yang belum dapat dikembangkan. Selain itu kebijakan yang dibuat pemerintah majene dalam hal pengelolaan aset harus disesuaikan dengan situasi daerah Majene tersebut kemudian memberikan sanksi yang tegas dan pengawasan yang aik dalam pelaksanaannya agar Manejemen aset daerah dapat terlaksana secara maksimal.


1 komentar: